KOMPAS, Rabu, 10 Desember 2008
Yogyakarta - Untuk menyemai dan menumbuhkan semangat antikorupsi di kalangan pelajar, kantin kejujuran diresmikan secara serentak di Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul, dan Kota Yogyakarta. Diharapkan model kantin tanpa kasir dan pengawas ini
Yogyakarta - Untuk menyemai dan menumbuhkan semangat antikorupsi di kalangan pelajar, kantin kejujuran diresmikan secara serentak di Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul, dan Kota Yogyakarta. Diharapkan model kantin tanpa kasir dan pengawas ini
bisa dikembangkan secara meluas ke berbagai sekolah. Di Bantul, kantin kejujuran berlokasi di SMA Negeri 2, Bantul. Kantin tersebut menghabiskan modal Rp 1,5 juta yang berasal dari sumbangan Kejaksaan Negeri Bantul dan iuran para siswa. Diharapkan, kantin kejujuran bisa diperluas ke sekolah- sekolah lain agar pelatihan kejujuran bisa ditanamkan ke banyak anak sekolah. Pemerintah daerah siap memberikan dukungan dana. Model kantin kejujuran di SMAN 2, Bantul, ini bisa diadopsi untuk sekolah-sekolah lain. Saat ini melatih sikap jujur menjadi sangat penting karena akar dari korupsi adalah ketidakjujuran. Kontrol Di Kulon Progo, kantin kejujuran berlokasi di SMAN 2, Wates.
Nantinya siswa akan dibebaskan dalam membeli aneka produk yang dijual di kantin itu. Semua produk sudah diberi label harga dan siswa yang mengambilnya diwajibkan untuk menulis di buku yang telah disediakan, serta menaruh sendiri uang di dalam sebuah laci. Kalau uangnya lebih, mereka mengambil sendiri kembalian dari dalam laci dan itu juga ditulis di dalam buku. Dengan begitu, pengelola akan lebih mudah mengontrol. Di Kota Yogyakarta, kantin kejujuran berlokasi di SMAN 17, Yogyakarta. Melalui kantin ini, pelajar dilatih untuk menumbuhkan kejujuran dari dalam diri sendiri, bukan terpaksa jujur karena merasa diawasi. Dengan sendirinya, mereka juga diharapkan akan menolak korupsi dari diri sendiri. Dalam kesempatan ini, Herry juga membuka tawaran pinjaman modal untuk semua sekolah yang ingin mendirikan kantin kejujuran. Namun, keinginan itu harus muncul dari inisiatif sekolah sendiri. Pemerintah Kota Yogyakarta tidak akan menunjuk sekolah untuk mendirikannya. Kantin kejujuran juga diresmikan di SMKN 1, Wonosari. Siswa kelas II Dwi Rahayu mengaku memperoleh manfaat dari kantin kejujuran. Selain berlatih untuk jujur, dia berharap nantinya benar-benar bisa memiliki sikap antikorupsi, terutama menangkal aneka iming-iming korupsi setelah memasuki dunia kerja. Menurut Kepala SMKN I Wonosari Abdul Rochim, kantin kejujuran tersebut telah mulai dilaksanakan sejak satu pekan terakhir. Terbukti, kantin yang dikelola siswa ini memang tidak merugi. Pendapatan tidak berkurang meski pembayaran langsung tanpa pengawasan, ucapnya.
Nantinya siswa akan dibebaskan dalam membeli aneka produk yang dijual di kantin itu. Semua produk sudah diberi label harga dan siswa yang mengambilnya diwajibkan untuk menulis di buku yang telah disediakan, serta menaruh sendiri uang di dalam sebuah laci. Kalau uangnya lebih, mereka mengambil sendiri kembalian dari dalam laci dan itu juga ditulis di dalam buku. Dengan begitu, pengelola akan lebih mudah mengontrol. Di Kota Yogyakarta, kantin kejujuran berlokasi di SMAN 17, Yogyakarta. Melalui kantin ini, pelajar dilatih untuk menumbuhkan kejujuran dari dalam diri sendiri, bukan terpaksa jujur karena merasa diawasi. Dengan sendirinya, mereka juga diharapkan akan menolak korupsi dari diri sendiri. Dalam kesempatan ini, Herry juga membuka tawaran pinjaman modal untuk semua sekolah yang ingin mendirikan kantin kejujuran. Namun, keinginan itu harus muncul dari inisiatif sekolah sendiri. Pemerintah Kota Yogyakarta tidak akan menunjuk sekolah untuk mendirikannya. Kantin kejujuran juga diresmikan di SMKN 1, Wonosari. Siswa kelas II Dwi Rahayu mengaku memperoleh manfaat dari kantin kejujuran. Selain berlatih untuk jujur, dia berharap nantinya benar-benar bisa memiliki sikap antikorupsi, terutama menangkal aneka iming-iming korupsi setelah memasuki dunia kerja. Menurut Kepala SMKN I Wonosari Abdul Rochim, kantin kejujuran tersebut telah mulai dilaksanakan sejak satu pekan terakhir. Terbukti, kantin yang dikelola siswa ini memang tidak merugi. Pendapatan tidak berkurang meski pembayaran langsung tanpa pengawasan, ucapnya.
Rabu, 28 Januari 2009 00:11 WIB DWI AS SETIANINGSIH
Kantin kejujuran keberadaannya belum teruji, tetapi ada harapan yang dititip kalangan muda kepada kanjur. Kelak, kanjur akan memberi mereka bekal antikorupsi.
Mereka berharap pelajaran dari kanjur bisa membawa bangsa ini lepas dari korupsi.
Kanjur atau disebut juga warjur alias warung kejujuran adalah kantin atau warung yang sudah ada di sejumlah sekolah di Jawa Tengah, kemudian dikembangkan Kejaksaan Agung sebagai bagian dari kegiatan Gerakan Aksi Langsung Antikorupsi Sejak Dini.
Mulai Oktober 2008 banyak kanjur didirikan di SMA (sekolah menengah atas) dan sekolah setingkat SMA di seluruh Nusantara. Kantin ini merupakan bentuk pencegahan tindak pidana korupsi sejak dini.
Data hingga Desember 2008, jumlah kanjur di Indonesia ada 2.711. Dengan semangat yang sama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mendirikan kanjur di sejumlah lokasi. Di kanjur atau warjur, kejujuran pembeli sungguh diuji.
Bentuknya relatif sederhana, berupa lemari kaca terdiri dari tiga sekat horizontal. Di setiap sekat dipajang aneka rupa makanan kecil, seperti cokelat dan wafer cokelat, aneka permen, serta alat-alat tulis, seperti buku, bolpoin, penggaris, dan pensil.
Tak seperti kantin lain, di kanjur atau warjur tak ada penjual yang menjaga dan melayani pembeli. Harga barang yang dijual hanya ditunjukkan dengan sepotong kertas yang diletakkan di tiap-tiap barang.
Di antara barang-barang itu disediakan kotak serupa kotak sumbangan. Di tempat itulah pembeli bisa meletakkan uang pembayaran mereka. Pembeli membayar dengan uang pas agar lebih praktis.
Karena bentuknya berupa lemari kaca, posisi kanjur bisa di mana saja. Di SMAN 3 Jakarta, kanjur ada di lantai 2 dekat lokasi kelas. Di SMAN 6 Jakarta, kanjur ada di lantai 1 dekat pintu masuk.
Siapa pun yang ingin belanja dapat mengambil sendiri barang yang diinginkan, lalu membayar sesuai harga. Semua transaksi dilakukan serba sendiri. Tak ada kamera pengintai atau petugas satpam yang mengawasi selama kanjur beroperasi. Justru karena semua serba sendiri, kejujuran dalam bertransaksi diuji.
Efektif
Sejumlah siswa menilai, kanjur efektif untuk melawan budaya korup yang telanjur mencengkeram bangsa. ”Kalau kantin kejujuran ada di mana-mana dan semua orang mau ’melakukannya’ dengan sungguh-sungguh, gue yakin di masa depan kita enggak perlu lagi lembaga kayak KPK,” kata I Nyoman Satrya Widarta, siswa kelas 11 ISC SMAN 3 Jakarta..
Sebagai bagian dari kelompok muda yang ”murka” dengan perilaku korup, rasanya tak berlebihan bila Nyoman menyandarkan harapan pada setiap cara dan upaya melawan korupsi.
Farah, siswi kelas 12 ISD SMAN 3 Jakarta, juga menilai kanjur bisa menjadi alat yang bagus untuk mendidik. ”Kanjur bisa melatih kejujuran. Kita jadi belajar untuk enggak ngambil yang bukan hak kita,” katanya.
Muhammad Adimas, siswa kelas 11 IPA B, berpendapat senada. ”Karena gue benci sama koruptor, warjur oke banget untuk melatih diri. Asal komitmen dipegang, gue yakin bisa jadi gerakan untuk memberantas budaya korup,” katanya.
Kanjur di SMAN 3 sejauh ini dinilai relatif berhasil memenuhi misinya, melatih kejujuran. Selain defisitnya kecil, sekitar Rp 27.000, omzetnya naik dari Rp 200.000 menjadi Rp 1 juta per bulan. Sekarang kanjur mereka bertambah menjadi dua lemari.
”Ini jelas menggembirakan. Siswa melatih diri untuk jujur sejak dini. Mudah-mudahan setelah lulus SMA, mereka sudah terbiasa jujur sehingga enggak kepingin saat melihat barang yang bukan miliknya,” papar Nurhayah, pengurus kanjur SMAN 3 Jakarta.
Berbeda dengan kisah sukses kanjur SMAN 3, kanjur SMAN 6 menyimpan ”kisah pahit”. Naisha Haraini, siswi kelas 12 IPA 2 SMAN 6 Jakarta, yang semula optimistis dengan keberadaan kanjur, kini pesimistis. Tak hanya sering tutup atau jam bukanya tak teratur, kanjur di sekolahnya mengalami defisit cukup besar.
”Ini kan berarti kanjur gagal. Ternyata banyak siswa enggak tahu malu. Kenapa begitu, aku juga enggak tahu. Memang udah dari rumah pada enggak jujur kali ya,” kata Naisha.
Hal senada diungkapkan Putri Ayu Panggabean, siswi kelas 11 IPA 4, dan Shabrina Jasmine Merdevi, siswi kelas 11 IPA 1.
Tentang kisah pahit itu, Husni, guru yang mengurusi kanjur SMAN 6 Jakarta, mengatakan, pada awal pembukaan, kanjur memang mengalami defisit.
”Dalam satu minggu kerugiannya paling tinggi Rp 108.000. Total defisit dari awal buka sampai sekarang Rp 604.000,” papar Husni.
Fakta itu mengecewakan. Meski kanjur bukanlah kantin untuk mengumpulkan laba besar, defisit yang cukup besar mengindikasikan ada perilaku tak jujur.
”Kami tidak menyerah. Setelah kami beri pengertian, uang yang ’hilang’ itu bisa kembali Rp 112.000. Memang harus pelan-pelan dan sabar karena kanjur untuk kepentingan pendidikan,” kata Husni.
Dalam versi berbeda, kisah ”kebangkrutan” kanjur, seperti diungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Jasman Pandjaitan saat peresmian kanjur ke-1.000, juga terjadi di Medan dan Bandung.
Kantin kejujuran keberadaannya belum teruji, tetapi ada harapan yang dititip kalangan muda kepada kanjur. Kelak, kanjur akan memberi mereka bekal antikorupsi.
Mereka berharap pelajaran dari kanjur bisa membawa bangsa ini lepas dari korupsi.
Kanjur atau disebut juga warjur alias warung kejujuran adalah kantin atau warung yang sudah ada di sejumlah sekolah di Jawa Tengah, kemudian dikembangkan Kejaksaan Agung sebagai bagian dari kegiatan Gerakan Aksi Langsung Antikorupsi Sejak Dini.
Mulai Oktober 2008 banyak kanjur didirikan di SMA (sekolah menengah atas) dan sekolah setingkat SMA di seluruh Nusantara. Kantin ini merupakan bentuk pencegahan tindak pidana korupsi sejak dini.
Data hingga Desember 2008, jumlah kanjur di Indonesia ada 2.711. Dengan semangat yang sama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mendirikan kanjur di sejumlah lokasi. Di kanjur atau warjur, kejujuran pembeli sungguh diuji.
Bentuknya relatif sederhana, berupa lemari kaca terdiri dari tiga sekat horizontal. Di setiap sekat dipajang aneka rupa makanan kecil, seperti cokelat dan wafer cokelat, aneka permen, serta alat-alat tulis, seperti buku, bolpoin, penggaris, dan pensil.
Tak seperti kantin lain, di kanjur atau warjur tak ada penjual yang menjaga dan melayani pembeli. Harga barang yang dijual hanya ditunjukkan dengan sepotong kertas yang diletakkan di tiap-tiap barang.
Di antara barang-barang itu disediakan kotak serupa kotak sumbangan. Di tempat itulah pembeli bisa meletakkan uang pembayaran mereka. Pembeli membayar dengan uang pas agar lebih praktis.
Karena bentuknya berupa lemari kaca, posisi kanjur bisa di mana saja. Di SMAN 3 Jakarta, kanjur ada di lantai 2 dekat lokasi kelas. Di SMAN 6 Jakarta, kanjur ada di lantai 1 dekat pintu masuk.
Siapa pun yang ingin belanja dapat mengambil sendiri barang yang diinginkan, lalu membayar sesuai harga. Semua transaksi dilakukan serba sendiri. Tak ada kamera pengintai atau petugas satpam yang mengawasi selama kanjur beroperasi. Justru karena semua serba sendiri, kejujuran dalam bertransaksi diuji.
Efektif
Sejumlah siswa menilai, kanjur efektif untuk melawan budaya korup yang telanjur mencengkeram bangsa. ”Kalau kantin kejujuran ada di mana-mana dan semua orang mau ’melakukannya’ dengan sungguh-sungguh, gue yakin di masa depan kita enggak perlu lagi lembaga kayak KPK,” kata I Nyoman Satrya Widarta, siswa kelas 11 ISC SMAN 3 Jakarta..
Sebagai bagian dari kelompok muda yang ”murka” dengan perilaku korup, rasanya tak berlebihan bila Nyoman menyandarkan harapan pada setiap cara dan upaya melawan korupsi.
Farah, siswi kelas 12 ISD SMAN 3 Jakarta, juga menilai kanjur bisa menjadi alat yang bagus untuk mendidik. ”Kanjur bisa melatih kejujuran. Kita jadi belajar untuk enggak ngambil yang bukan hak kita,” katanya.
Muhammad Adimas, siswa kelas 11 IPA B, berpendapat senada. ”Karena gue benci sama koruptor, warjur oke banget untuk melatih diri. Asal komitmen dipegang, gue yakin bisa jadi gerakan untuk memberantas budaya korup,” katanya.
Kanjur di SMAN 3 sejauh ini dinilai relatif berhasil memenuhi misinya, melatih kejujuran. Selain defisitnya kecil, sekitar Rp 27.000, omzetnya naik dari Rp 200.000 menjadi Rp 1 juta per bulan. Sekarang kanjur mereka bertambah menjadi dua lemari.
”Ini jelas menggembirakan. Siswa melatih diri untuk jujur sejak dini. Mudah-mudahan setelah lulus SMA, mereka sudah terbiasa jujur sehingga enggak kepingin saat melihat barang yang bukan miliknya,” papar Nurhayah, pengurus kanjur SMAN 3 Jakarta.
Berbeda dengan kisah sukses kanjur SMAN 3, kanjur SMAN 6 menyimpan ”kisah pahit”. Naisha Haraini, siswi kelas 12 IPA 2 SMAN 6 Jakarta, yang semula optimistis dengan keberadaan kanjur, kini pesimistis. Tak hanya sering tutup atau jam bukanya tak teratur, kanjur di sekolahnya mengalami defisit cukup besar.
”Ini kan berarti kanjur gagal. Ternyata banyak siswa enggak tahu malu. Kenapa begitu, aku juga enggak tahu. Memang udah dari rumah pada enggak jujur kali ya,” kata Naisha.
Hal senada diungkapkan Putri Ayu Panggabean, siswi kelas 11 IPA 4, dan Shabrina Jasmine Merdevi, siswi kelas 11 IPA 1.
Tentang kisah pahit itu, Husni, guru yang mengurusi kanjur SMAN 6 Jakarta, mengatakan, pada awal pembukaan, kanjur memang mengalami defisit.
”Dalam satu minggu kerugiannya paling tinggi Rp 108.000. Total defisit dari awal buka sampai sekarang Rp 604.000,” papar Husni.
Fakta itu mengecewakan. Meski kanjur bukanlah kantin untuk mengumpulkan laba besar, defisit yang cukup besar mengindikasikan ada perilaku tak jujur.
”Kami tidak menyerah. Setelah kami beri pengertian, uang yang ’hilang’ itu bisa kembali Rp 112.000. Memang harus pelan-pelan dan sabar karena kanjur untuk kepentingan pendidikan,” kata Husni.
Dalam versi berbeda, kisah ”kebangkrutan” kanjur, seperti diungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Jasman Pandjaitan saat peresmian kanjur ke-1.000, juga terjadi di Medan dan Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar