HaPPy B'Day...
HaPPy B'Day...
HaPPy B'Day...
HaPPy B'Day To Me... (^^)
Hari ini hari sabtu tgl 31-01-2009, aku berusia 30 tahun.
wah, dah memasuki kepala 3 niy, makin tua makin dewasa, ada2 aja hehehe ;p
Hari ini aku diberi kesempatan umur 1 tahun lagi sehingga aku sangat banyak kesempatan untuk melakukan hal2 yg blm sempat diselesaikan, banyak kesempatan untuk melakukan hal2 yg diinginkan terutama melakukan hal2 untuk sesorang yg aku sayangi, JoeL suami ku, 2 keluarga besar ku, teman2 ku.
Hari ini aku ndak lupa berdoa kepada Tuhan di hari ulang tahun ku, bersyukur atas karunia yg telah diberikan atas hidup kami selama ini.
Hari ini dengan bertambahnya umur aku berharap,semoga aku menjadi lebih baik lg sebagai istri bagi suami sebagai anak menantu bagi orangtua sebagai warga negara Indonesia bagi masyarakat,
Sabtu, 31 Januari 2009
My B'Day 31st January 2009
Jumat, 30 Januari 2009
Kerajinan Tenun Ikat Inuh
KOMPAS, Jumat, 30 Januari 2009
Ian (19)menyusun benang yang dijadikan kain tenun ikat Inuh di tempat penenunan Dewan Kerajinan Nasional Daerah Daerah Lampung Selatan, Kalianda, Lampung Selatan, Selasa (27/1). Tenun ikat khas Lampung Selatan dengan motif makhluk hidup air dan simbol-simbol laut ini biasa digunakan untuk upacara adat masyarakat Lampung Pesisir pada zaman dahulu. Budaya kain tenun ikat yang sempat mati suri ini, digiatkan kembali menjadi kerajinan khas setempat. Kain ini dijual Rp 350.000 hingga Rp 900.000 per lembar.
Karya Kreatif - Bermodal Bahan Bekas dan Pelepah Pisang
Indra (19) tampak serius menempelkan serat-serat halus pelepah pisang berwarna coklat pada sebuah bidang berukuran 120 sentimeter x 60 sentimeter. Pada bidang yang ditempeli serat pelepah pisang dalam berbagai ukuran itu tersaji sebuah lukisan pemandangan alam nan menakjubkan.
Sebuah miniatur kapal layar tampak teronggok di atas sebuah botol cognac Perancis bermerek Martell pada ujung meja. Miniatur kapal itu dibuat sangat hati-hati menggunakan jarum dan peralatan lain yang dimasukkan lewat lubang botol itu.
Sementara sepasang tangan Indra bergerak di bawah bimbingan Jemy (32), pamannya, yang sudah sejak 1986 menggeluti usaha pembuatan miniatur berbagai jenis kapal layar. "Kalau untuk ini (lukisan) kan sudah lama tidak saya buat, namun belakangan ini ada yang tanya lagi, makanya saya bikin lagi," kata Jemy.
Sejak memulai usaha itu bersama kakaknya, Edy, yang jadi pelopor pembuatan miniatur kapal layar di lingkungan Kedungkwali, Kelurahan Miji, Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto, Jemy telah membuat tak kurang 100 model kapal layar. Mulai kapal layar semasa VOC (Belanda), kapal perang bangsa Viking, hingga kapal dari zaman Romawi.
Jemy yang lulusan SMEA PGRI Sooko, Mojokerto, mempekerjakan hingga 30 orang untuk memenuhi pesanan. Kebanyakan mengerjakan pesanan-pesanan itu di rumah masing-masing.
Namun, suatu siang beberapa waktu lalu, hanya ada tiga orang yang ada di bengkel kerja Jemy, termasuk Indra yang baru saja lulus dari SMKN 1 Kota Mojokerto. Indra baru dua bulan berguru pada pamannya di bengkel kerja itu sehingga ia baru diperkenalkan pada sejumlah tugas yang relatif ringan.
Sulit memasarkan
Kata Jemy, sesungguhnya ia sudah jenuh setelah mengurusi bisnis itu selama bertahun-tahun. Namun, panggilan untuk melestarikan kerajinan yang sempat diakui sebagai unggulan Kota Mojokerto itu membuatnya terus bertahan.
Ia mengakui, faktor tersulit adalah soal pemasaran karena bahan baku dianggapnya relatif mudah diperoleh. Menurut Jemy, ia lebih banyak mempergunakan sejumlah material bekas untuk memperkecil ongkos produksi, selain material utama berupa pelepah pisang yang relatif mudah diperoleh. Bahkan, untuk lambung kapal-kapal miniatur buatannya yang sepintas terlihat seperti terbuat dari batang kayu, juga dibuat dari pelepah pisang. Hanya beberapa di antaranya saja yang mempergunakan kayu mahoni atau jati.
Harga jual barang-barang kerajinan itu memiliki rentang antara Rp 15.000 hingga Rp 8 juta untuk miniatur kapal layar. Adapun lukisan yang tengah dikerjakan itu ditawarkan hingga Rp 1,5 juta. Korea, Belanda, dan sejumlah daerah di Indonesia adalah pasar bagi kerajinan itu. "Pokoknya harus kreatif dan memanfaatkan bahan yang ada karena saingannya juga banyak," ujar Jemy.
Tokyo
Pihak pemadam kebakaran di Nagoya, Jepang, sangat malu dengan apa yang terjadi pada salah satu markas mereka pekan ini. ”Kami adalah lembaga yang punya tugas mendidik masyarakat bagaimana mengatasi kebakaran. Jadi,
Kamis, 29 Januari 2009
Singapura
Berlin
Berlin - Seorang pengemudi berusia 23 tahun terlalu cepat memacu mobilnya di Chemnitz, negara bagian Saxony, Jerman. Akibatnya,
Perayaan - Misa Inkulturasi Tahun Baru Imlek
Tahun Baru Imlek di Semarang tidak saja dirayakan di klenteng- klenteng, tetapi juga di gereja. Umat Katolik Gereja "Hati Kudus Yesus" di kawasan perumahan Tanah Mas, Kota Semarang, Senin (26/1) malam, menyelenggarakan Misa Inkulturasi Tahun Baru Imlek untuk turut merayakan Tahun Baru 2560 Imlek.
Misa tersebut dipersembahkan Romo Aloys Budi Purnomo Pr (Kepala Paroki "Hati Kudus Yesus" Tanah Mas) didampingi Romo EG Willem Pau Pr dan Romo AG Luhur Prihadi Pr. Ketiga pastor/romo tersebut mengenakan jubah berwarna merah serta kopiah model zaman Manchu yang berekor rambut kuncir (taocang).
Umat yang datang melebihi jumlah biasanya sehingga panitia menambah tempat duduk dari bangku-bangku plastik. Sebagian besar umat mengenakan baju dan gaun merah.
Gedung gereja pun dihias dengan pernik-pernik Imlek berwarna merah, mulai dari lampion hingga replika pohon keberuntungan yang ranting-rantingnya digantungi sejumlah angpau. Di muka altar dipasang tiga batang hio wangi yang besar yang melambangkan Tritunggal Maha Kudus.
Kor yang personelnya berpakaian serba merah mengiringi perayaan misa ini dengan lagu-lagu rohani berirama Mandarin, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Mandarin.
"Orang Katolik tidak dilarang merayakan Tahun Baru Imlek asalkan tidak memindahkan keseluruhan kelenteng ke dalam gereja," kata Romo Budi dalam khotbahnya. Dia mengatakan, pada Tahun Baru Sura yang lalu Gereja Hati Kudus Yesus Tanah Mas merayakannya dalam misa inkulturasi, lengkap dengan pakaian adat Jawa dan menggunakan bahasa Jawa.
Romo Budi mengatakan, dalam iman Kristiani, Tahun Baru Imlek memuat nilai iman yang mirip dengan praktik Paskah dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian baru, meski konteks dan teologinya sangat berbeda.
Seusai penerimaan komuni, tampil tokoh berpakaian tokoh legenda Chai Shen Ye (dewa kekayaan) yang didampingi Romo Budi membagi- bagikan angpau kepada anak-anak. Seusai misa, umat mendapatkan bingkisan berisi sebuah jeruk dan sebuah kue keranjang. (SN Wargatjie, wartawan tinggal di Semarang)
Menapak Jejak Oei Tiong Ham di Kota Semarang
KOMPAS, Rabu, 28 Januari 2009 14:26 WIB
Dahulu siapa yang tidak mengenal Oei Tiong Ham, "Raja Gula" dari Semarang yang juga sempat digelari "manusia 200 juta gulden"? Setelah lebih dari 80 tahun kematiannya, jejak-jejak Oei Tiong Ham di kota kelahirannya di Semarang terus memudar.
Oei Tiong Ham (1866-1924) memulai usaha setelah mewarisi Kian Gwan, perusahaan milik ayahnya, Oei Tjie Sien, dengan total nilai 17,5 juta gulden. Dia mengembangkan warisan itu sehingga nilainya menjadi sekitar 200 juta gulden, yang membuatnya menjadi orang terkaya seantero koloni Hindia Belanda kala itu.
"Kesuksesan dari Oei Tjie Sien turut menjadi landasan usaha Oei Tiong Ham. Ini sedikit banyak membantu Tiong Ham karena tidak memulai dari nol sama sekali. Apalagi Tiong Ham sebelumnya juga sempat memegang pacht candu," kata arsitek dan pengamat budaya Tionghoa peranakan Widya Widjayanti, Kamis (22/1).
Properti yang diwarisi Oei Tiong Ham dari ayahnya cukup banyak karena Tjie Sien menanamkan uang di sektor properti. Saat itu ada dua istananya yang sangat megah dan terkenal. Istana utama di Gergaji terkenal sangat luas, sedangkan istana yang berada di Simongan dikenal dengan keindahan pemandangannya.
Istana di Gergaji, kini Jalan Kyai Saleh, yang dahulu terkenal dengan Taman Bale Kambang-nya telah berpindah tangan dan menjadi kantor lembaga pendidikan. Kompleks istana yang dahulu seluas 81 hektar, kini tinggal sekitar 8.000 meter persegi tempat bangunan itu berada. Sisanya telah menjadi perkantoran dan permukiman penduduk.
Memprihatinkan
Kediaman Oei di Simongan yang menjadi tempat Oei Tjie Sien menghabiskan hari tuanya, kondisinya memprihatinkan. Lahan seluas 2,75 hektar itu kini dihuni oleh 45 kepala keluarga yang sebagian merupakan keluarga pensiunan tentara. Sebagian atap bangunan utama rusak dan warnanya kusam.
Selain bangunan utama dan rumah istirahat, masih ada bekas-bekas rumah pembantu, ruang penyimpanan makanan, ruang menerima tamu, istal kuda, serta ruang penyimpanan kereta kuda. Di sepanjang lahan menuju ruangan-ruangan itu, masih bisa ditemukan jalan yang dibuat dari batu portugis.
"Tahun 1980-an, ada kolektor dari Salatiga yang menawar berani membeli batu itu seharga Rp 150.000 per keping kalau masih utuh. Namun, kami tolak. Sayang marmer-marmer di semua bangunan sudah habis sebelum kami menempatinya," kata Soetadji (64) yang mulai tinggal di sana sejak tahun 1974.
Menurut pemerhati sejarah Semarang yang juga penulis buku Kota Semarang dalam Kenangan, Jongkie Tio, properti lainnya tersebar di sejumlah wilayah, seperti di Jalan Pandanaran, Jalan Gajahmada yang kini sebagian besar sudah hilang dan berubah fungsi.
"Oei Tiong Ham juga berjasa atas perkembangan Kota Semarang. Usaha propertinya turut membuka perumahan-perumahan di Semarang," kata Jongkie Tio. (Antony Lee)
Tatar Sunda - Di Mana Pecina di Kota Bandung?
Pecinan di Kota Bandung tersebar di Jalan Banceuy, ABC, Pacinan Lama, Otto Iskandardinata, Kebonjati, Pasirkaliki, Gardujati, Cibadak, dan Kelenteng. Munculnya kawasan itu berawal dari kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang mendatangkan orang-orang Tionghoa demi memajukan perekonomian Kota Bandung pada pertengahan abad ke-19.
Kebijakan kolonial itu terkait dengan dipindahkannya pusat Karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung pada tahun 1856. Namun, kedatangan orang Tionghoa dalam jumlah besar diperkirakan sekitar tahun 1884 seiring dengan dibukanya jalur kereta api di Bandung.
Kedatangan orang-orang Tionghoa disambut dengan kebijakan lintas ("pass") dan pengelompokan etnis ("zoning system"). Mereka tidak diperbolehkan melintasi wilayah Priangan tanpa izin dan diharuskan menetap di kawasan yang sudah ditentukan.
Salah satu lahan khusus bagi orang Tionghoa berada di Jalan Otto Iskandardinata (Pasar Baroe Weg). Jantung pecinan terletak di kawasan Jalan Pecinan Lama. Mereka kebanyakan bekerja sebagai perajin mebel atau membuka toko kelontong, warung makan, dan tempat bermain judi.
Lahan khusus juga disediakan di tepian Sungai Citepus di kawasan Kebonjati. Pusatnya di Jalan Kelenteng, yang merupakan lokasi rumah tinggal Kapiten China Tan Yun Liong, yang kemudian dijadikan kelenteng pada 1885.
Bisnis orang-orang Tionghoa makin menguat setelah dihapuskannya kebijakan lintas dan pengelompokan etnis pada 1905. Hal itu antara lain ditandai munculnya pusat perdagangan Andir yang dirintis seorang Tionghoa bernama Yap Loen pada 1920. Praktis, pada periode 1920-1940, suku Tionghoa mampu menguasai hampir seluruh kawasan perdagangan di Jalan Jenderal Sudirman dan Otto Iskandardinata. (NDW/LITBANG KOMPAS)
Bangunan Cagar Budaya China Rusak

Puluhan siswa dan aktivis pencinta bangunan bersejarah, Kamis (22/1), berunjuk rasa dengan mengelilingi sisa bangunan rumah tuan tanah kebun karet di Karawaci, Kota Tangerang, yang dibangun pada akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19 itu. Mereka meminta penghancuran dan penjualan bangunan bersejarah berarsitektur China dan kolonial Belanda itu dihentikan.
Jakarta, Kompas - Bangunan Tionghoa bersejarah berusia di atas satu abad dan berstatus cagar budaya banyak yang rusak. Pantauan sejak pekan lalu menunjukkan, bangunan yang tersebar Bogor, Jakarta, dan Tangerang itu rusak akibat kesengajaan atau ditelantarkan begitu saja.
Sejumlah bangunan yang sengaja dihancurkan sebagian seperti rumah tuan tanah Karawaci peninggalan Kapiten Oei Djie San di Kota Tangerang, rumah Mayor Khow Khim An yang menjadi Gedung Candranaya atau Sin Ming Hui di Jalan Gajah Mada (Jakarta), rumah Pak Wongso dan sederet rumah tua di Blandongan dekat Toko Tiga, hingga rumah peninggalan keluarga Souw keturunan Kapiten Tionghoa Pertama Souw Beng Kong di Jalan Perniagaan, semuanya di Jakarta Barat.
Keadaan itu memunculkan keprihatinan pencinta bangunan bersejarah. Terakhir, sejumlah siswa Sekolah Dasar Negeri 1 Karawaci, Tangerang, bersama para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Antar Generasi Tangerang, pekan lalu, berdemonstrasi memprotes perusakan rumah bersejarah bekas rumah peninggalan Kapiten Oei Djie San.
Tak hanya memprotes, Uyus Setia Bakti dari Koalisi Antar Generasi juga akan melaporkan perusakan bangunan yang diperkirakan dibuat pada akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19 itu.
”Menurut Undang-undang tentang Cagar Budaya, merusak bangunan yang termasuk dalam benda cagar budaya merupakan tindak pidana,” kata Uyus.
Desember lalu, Warga Peduli Bangunan Tua (Walibatu) yang terdiri dari arsitek, tokoh yang menaruh perhatian besar terhadap pelestarian budaya, dan penulis buku sejarah meminta pemerintah dan masyarakat beraksi menyelamatkan bangunan yang berdiri di atas lahan seluas 2 hektar di Karawaci itu.
Menurut Walibatu, dari sisi arsitektur, bangunan ini merupakan bagian dari jejak sejarah arsitektur di Indonesia. Rumah utama bergaya arsitektur China, sedangkan rumah lain bergaya Indisch (gabungan unsur Eropa dan tropis). Mona Lohanda dalam buku Kapiten China of Batavia 1837-1942” mengungkapkan, rumah ini dibangun pada awal abad ke-18 oleh Letnan China Oei Djie San yang menguasai perkebunan di Karawaci, Cilongok.
Selain itu, rumah ini merupakan tuan tanah terakhir yang masih tersisa di sekitar Jakarta dan kondisinya terbilang utuh. Bangunan ini mulai dibongkar sekitar September 2008 atas suruhan ahli waris. Elemen-elemen bangunan telah dijual kepada pihak lain.
Berubah fungsi
Beberapa bangunan bersejarah itu kini sudah berubah fungsi. Sebagian lahan di Candranaya, misalnya, akan dibangun apartemen. Bangunan tua dan bersejarah di Bogor dan kawasan Petak Sembilan, Jakarta Barat, banyak yang berubah fungsi menjadi toko. Adapun bekas pabrik karet dan rumah tua di Karawaci sebagian sudah dihancurkan.
Menanggapi keadaan ini, pendiri Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia (PDAI), Aria Abieta, mengatakan, kerusakan terus terjadi karena aturan konservasi dan bisnis tidak sinkron.
”Tidak ada insentif bagi pemilik bangunan tua untuk mempertahankan bangunan lama. Satu-satunya manfaat hanya didapat jika digunakan untuk bisnis belaka sehingga mereka pun memutuskan mengubah bangunan sehingga jejak sejarah sebuah kota, bahkan bangsa, terlupakan,” kata Aria.
Dia mencontohkan, tiga rumah bersejarah di kawasan konservasi Menteng di Jalan Teuku Umar diruntuhkan dan digabung menjadi satu bangunan. Itu terjadi di dekat rumah dinas Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.
Menurut Aria, pemilik lama tak mampu membayar pajak sehingga harus melepas rumah kepada pemilik baru yang umumnya orang kaya baru atau pengusaha berpendidikan terbatas yang sama sekali tidak memedulikan sejarah.
Untuk kasus rumah tuan tanah di Tangerang, Mahandis Yoanata dan Enrico Halim dari Walibatu secara terpisah menyatakan, perkumpulan pernah berupaya mempertemukan pemilik tanah dan pemilik bangunan yang ternyata berbeda, tetapi usaha itu tak menemui hasil karena amat sulit menemukan pemilik rumah tersebut.
Keduanya berpendapat, solusi untuk menyelamatkan rumah tua itu adalah adanya pihak yang mau membeli bangunan sekaligus tanahnya. Pemerintah juga harus turun tangan mencegah penghancuran cagar budaya tersebut. (ONG/TRI)
Hari-hari Terakhir Rumah Tionghoa
Semak belukar, tumpukan batu bata, dan sisa puing teronggok di sisi bangunan landhuis atau rumah tuan tanah berarsitektur Tionghoa dan Indisch di Karawaci, Kota Tangerang. Bangunan bersejarah peninggalan tuan tanah perkebunan yang tersisa di Nusantara itu dibiarkan hancur perlahan-lahan.
Tidak terlihat papan pengumuman benda cagar budaya dari pemerintah setempat yang menunjukkan rumah tersebut adalah saksi sejarah perkembangan Kota Tangerang modern.
”Akhirnya tempat ini dibongkar di bagian paseban dan bagian tengah. Saya sempat menyaksikan pembongkarannya. Sayang sekali. Dahulu tempat ini merupakan kediaman Kapiten Oei Djie San,” kata Oei Cin Eng, warga Tangerang yang menemani Kompas mengunjungi rumah bersejarah itu.
Rumah Kapiten Oei Djie San merupakan satu-satunya bangunan tersisa dari jenis landhuis perkebunan di Jawa. Rumah itu menghadap Sungai Cisadane yang menjadi sumber air perkebunan tebu dan persawahan di Tangerang. Bagian belakang rumah tersebut memiliki gaya arsitektur Indisch—gabungan Eropa dan Nusantara—yang digunakan Kapiten Oei Djie San menerima tamu bangsa Belanda atau Eropa lainnya.
Kemegahan dan sejarah rumah itu tinggal kenangan.
Bagian paseban atau halaman depan rumah itu yang menghadap Sungai Cisadane dibongkar rata dengan tanah akhir tahun 2008. Bahkan, patung Singa Batu dari Tiongkok yang menjaga rumah—seperti Patung Dwarapala pada rumah Jawa—juga dibongkar dan telah lenyap dari rumah itu.
Menurut Cin Eng, mandor pembongkaran rumah tersebut, paseban rumah itu dibeli oleh seorang kolektor. Sedangkan pelbagai komponen rumah diangkut pemulung.
Sejarawan Mona Lohanda yang menulis tentang Kapiten China di Batavia menyayangkan perusakan rumah Kapiten Oei Djie San.
Pengamat budaya Tionghoa Peranakan, Eddi Prabowo Witanto, mengecam keras perusakan landhuis Karawaci.
”Setelah Gedung Candranaya dirusak, kini satu-satunya landhuis khas Tionghoa dengan rumah berbentuk tapal kuda dibiarkan hancur. Sayang tidak ada perhatian dari pemerintah ataupun pengusaha besar yang mau merawat rumah-rumah peninggalan sejarah ini. Padahal, di Singapura, rumah berarsitektur Tionghoa yang dihancurkan, kembali dibangun seperti asli demi menjaga warisan sejarah,” kata Eddi Prabowo.
Hancurnya Candranaya
Kerusakan juga menimpa bangunan bersejarah berlanggam arsitektur Tionghoa di Jakarta dan Bogor. Gedung Candranaya, peninggalan Mayor Khow Kim An—Officier der Chinesen terakhir di Hindia Belanda—di Jalan Gajah Mada, Jakarta, kini dalam keadaan rusak berat.
Dalam pantauan, seluruh bangunan sayap Gedung Candranaya (dulu Sing Ming Hui) sudah dihancurkan. Demikian pula kolam dan ornamen-ornamen bangunan dalam keadaan rusak.
Bagian dalam bangunan Candranaya yang tersisa, dalam pantauan Sabtu (24/1), terlihat dicat baru di beberapa tempat.
Kegiatan fisik atas bangunan bersejarah sebetulnya harus diawasi instansi terkait dan tidak bisa menggunakan bahan kimia tertentu seperti cat yang belum diketahui komposisinya. Tindakan tersebut dilakukan agar upaya renovasi tidak merusak kondisi asli bangunan.
Kerusakan juga terlihat di rumah keluarga Souw di Jalan Perniagaan di dekat Pasar Perniagaan, Jakarta Barat. Rumah bergaya arsitektur Tionghoa tersebut didiami marga Souw keturunan Kapiten Souw Beng Kong, seorang perintis Kota Batavia modern tahun 1619.
Salah satu sayap bangunan rumah keluarga Souw dihancurkan akibat proyek pembangunan Pasar Perniagaan.
Tidak jauh dari lokasi tersebut, sederet rumah Tionghoa di Blandongan dekat Toko Tiga juga dalam keadaan telantar. Asen, seorang warga, mengatakan, rumah-rumah tersebut merupakan bangunan yang disita oknum penguasa pasca-G30S PKI dan kini tidak dirawat. ”Sebetulnya bangunan-bangunan itu bisa difungsikan sebagai perpustakaan atau Museum Sejarah Tionghoa di Jakarta,” kata Asen.
Sisa bangunan Tionghoa di kawasan Pecinan Glodok-Pancoran juga semakin menyusut drastis. Tidak terlihat upaya pelestarian terhadap benda cagar budaya yang tersisa.
Kondisi serupa terlihat di Bogor. Rumah berarsitektur Tionghoa di Jalan Suryakencana, Jalan Roda, dan Jalan Lawang Seketeng nyaris tidak tersisa.
Setiadi Sopandi, pengamat arsitektur, mengecam perusakan peninggalan sejarah tersebut. ”Bogor memiliki kekayaan bangunan bersejarah dengan gaya Belanda, Indisch, Sunda, dan Tionghoa. Sayang kalau tidak dilestarikan,” kata Setiadi.
Meski secara perekonomian banyak pengusaha besar lahir dari komunitas Tionghoa, jejak sejarah bangunan Tionghoa tidak dilestarikan.
Kini, bangunan modern atau rumah toko berbentuk kotak seperti kulkas berdiri di lokasi bangunan-bangunan bersejarah yang diruntuhkan. Sungguh ironis, sukses di bidang ekonomi tidak diikuti peningkatan selera dan kesadaran untuk melestarikan bangunan bersejarah
Los Angeles - Kelahiran bayi kembar 8
KOMPAS, Rabu, 28 Januari 2009, 00:29 Wib
Seorang perempuan California, AS, hari Senin (26/1) mengejutkan para dokter saat melahirkan bayi kembar delapan. Ini merupakan peristiwa bayi kembar delapan (octuplets) yang kedua di AS. Pokoknya,
Imlek 2560 - Pohon Mei Hwa, Pohon Harapan untuk Semua...
Pohon Mei Hwa masih kuntum
KOMPAS, Selasa, 27 Januari 2009 10:23 WIB
Pohon mei hwa di tengah Jalan Wotgandul, kawasan Pecinan Semarang, itu mencuri perhatian orang-orang yang lalu-lalang. Tingginya sekitar delapan meter dengan bunga-bunga yang mekar kemerahan. Di ujung-ujung rantingnya tergantung puluhan angpau. Di bawahnya, muda-mudi sibuk bergaya, mengabadikan diri bersama pohon harapan itu, Sabtu (24/1) malam.
Lagu-lagu berbahasa Mandarin terdengar dari pengeras suara yang diletakkan di pintu gerbang Klenteng Ling Hok Bio, sekitar 10 meter dari pohon mei hwa. Andini (23) yang berdiri sekitar lima meter dari pengeras suara itu sibuk memberi tanda kepada ibu dan dua adiknya yang bergaya di depan pohon mei hwa.
"Satu...dua...tiga..., yak, sudah. Sekarang gantian Bu," kata warga Candisari, Semarang, itu sambil menyerahkan kamera saku digital kepada ibunya. Dia langsung merapikan jilbabnya dan tersenyum ke arah kamera.
Pohon mei hwa yang dipajang saat Pasar Imlek Semawis itu menggunakan batang pohon asli, bunganya dari plastik. Secara harfiah, mei hwa berarti bunga yang cantik. Dalam tradisi Tionghoa, pohon mei hwa sering pula disebut sebagai pohon harapan.
Tidak sedikit pengunjung pasar imlek itu yang menuliskan harapannya di tahun baru 1 cia gwee 2560 Imlek dan memasukkannya ke dalam kertas angpau. Angpau yang sudah diberi gantungan itu lalu dilemparkan ke pohon mei hwa.
Pengunjung yang datang untuk melemparkan kertas permohonan itu ternyata tidak hanya warga Tionghoa. Pengunjung pasar imlek ini dari berbagai latar belakang agama, budaya, dan ekonomi. Suwito (35), warga Semarang Tengah, datang bersama istri dan dua anaknya. Sudah dua kali pasar imlek mereka datang.
"Sekadar mencari hiburan, kebetulan anak-anak mau lihat barongsai," kata Suwito yang mengaku hanya ke kawasan pecinan saat penyelenggaraan pasar imlek.
Menurut Pelaksana Pasar Imlek Semawis dari Capung Organizer, Benita Eka Arijani, peserta pasar imlek ini hampir berimbang antara warga Tionghoa dan bukan Tionghoa. Mereka juga bisa menyaksikan persiapan persembahyangan menjelang Imlek di klenteng di lokasi pasar imlek.
Suasana akulturasi budaya juga terasa dalam pameran yang digelar Perkumpulan Rasa Dharma yang dahulu bernama Boen Hian Tong di Gedung Rasa Dharma di Gang Pinggir. Selain memamerkan beberapa alat persembahyangan dan papan pencetak tanda keanggotaan sejak organisasi ini berdiri pada 1876, perkumpulan ini juga memamerkan satu perangkat gamelan berusia sekitar 100 tahun milik Boen Hian Tong.
Perangkat gamelan itu terdiri dari gender besi, gender kayu, satu set gong, tambur besar, serta kecapi yang bentuknya kuno dengan ukiran motif daun. Baru pada pertengahan 2008 gamelan itu ditemukan tersimpan di atap gedung. Menurut pengurus Perkumpulan Rasa Dharma, Robert Liem, perangkat gamelan itu diperkirakan tersimpan sejak1960- an.
Ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis), Harjanto Halim, mengatakan, sebelum peristiwa 30 September 1965, gamelan menjadi salah satu kelangenan atau kegemaran orang- orang Tionghoa di Semarang. Mereka mulai meninggalkan kelangenan ini karena takut tampil di muka umum akibat trauma. Dia berharap gamelan ini bisa kembali bergaung di Pecinan Semarang.
"Ini adalah bentuk akulturasi. Imlek bukan hanya milik orang Tionghoa, dan budaya Jawa juga merupakan kelangenan orang-orang Tionghoa," kata Harjanto.
Dia mengatakan, akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa juga tercermin dalam lagu Empat Penari yang terkenal dengan iringan gambang Semarang. Lagu ini karangan Oey Yok Siang.
Sebagaimana pohon mei hwa, akulturasi itu menjadi harapan kita semua.... (antony lee)
Rabu, 28 Januari 2009
Madison
KOMPAS, Selasa, 27 Januari 2009, 01:15 Wib
Beginilah kalau sebuah undangan perang bola salju dilakukan lewat situs Facebook. Polisi dan petugas medis terpaksa dikerahkan. Aturan main juga ditetapkan biar tidak terjadi hal-hal di luar batas. Hari Sabtu petang, mahasiswa Universitas Wisconsin-Madison, AS, bermain bola salju dalam perang memecahkan rekor.
Imlek - Tahun Baru Bersama Para Leluhur
Belasan batang dupa hio tersemat di antara tautan jemari Fransisca Murlianti (49). Kepulan asap putih pekat segera menutupi wajah wanita tersebut, tetapi ia bergeming. Lamat-lamat bibirnya bergerak memanjatkan doa.
Bersama suami, Yohanes Pulung (46), Fransisca yang masih keturunan Tionghoa itu berdoa di depan pusara almarhum Mikael Worodirejo, yang tak lain adalah ayah kandungnya. Tidak lama kemudian, ia melempar dua koin pecahan Rp 100 tahun 1980.
Lemparan pertama menghasilkan gambar seragam. Sama-sama muncul gambar gunungan wayang di permukaan koin. Fransisca kemudian mengambil sekantong bunga mawar dan menaburkannya di atas makam sang ayah yang belum bernisan.
"Kalau gambar koinnya masih sama, itu berarti kami belum boleh pulang. Ayah masih ingin bertemu kami. Nanti kami akan melempar koin lagi hingga muncul gambar yang berlainan, baru kami pulang," tutur Fransisca, Senin (26/1) pagi.
Berziarah ke makam leluhur merupakan bagian dari tradisi perayaan Tahun Baru Imlek yang dipertahankan di keluarga Fransisca.
Tidak hanya mengunjungi makam ayahanda, wanita yang tinggal di Kemetiran, Yogyakarta, itu juga berziarah ke makam kakek dan neneknya yang masih terletak di kompleks pemakaman China Giripeni, Wates, Kulon Progo.
Sambil menaburkan bunga, Fransisca bercerita, keluarga ayahnya berasal dari Sentolo, Kulon Progo. Namun, beberapa tahun setelah kemerdekaan, mereka semua pindah ke Yogyakarta karena kondisi Kulon Progo masih belum aman dari peperangan dengan penjajah Belanda.
Selain keluarga Fransisca, terlihat pula keluarga Bambang (46), warga Godean, Sleman, yang berziarah ke makam leluhur mereka di Giripeni. Rupanya leluhur Fransisca dan Bambang masih satu keluarga besar, tetapi mereka tidak saling kenal karena sudah terpisah dua generasi.
"Kami hanya berziarah saja, tidak bersembahyang, karena kami sekeluarga sudah memeluk agama Kristen. Sembahyang dengan dupa dan sesajian hanya dilakukan oleh pemeluk agama Konghucu atau Buddha saja," kata Bambang.
Generasi Bambang dan Fransisca sudah memeluk agama Kristen dan Katolik sehingga mereka mulai meninggalkan tradisi pemberian hantaran buah, kue, dan masakan di muka makam. Hanya saja, Fransisca masih meneruskan penggunaan dupa karena ia merasakan ada nilai kesakralan tersendiri.
Selain pada hari Imlek, biasanya keluarga Bambang dan Fransisca berziarah pada perayaan Ceng Beng atau hari untuk menghormati para leluhur yang jatuh sekitar April. Ziarah akan dilakukan kembali pada tanggal kematian sang leluhur.
Menurut Yohanes Pulung, ziarah yang berlangsung pada tahun baru memiliki makna berbagi kebahagiaan dengan seluruh keluarga. "Keluarga tidak hanya mereka yang masih hidup saja, tetapi juga yang sudah lebih dulu meninggalkan kita. Ziarah adalah bukti kita masih ingat kepada leluhur," tuturnya.
Ziarah juga merupakan silaturahmi. Pada perayaan Imlek, seluruh keluarga akan saling mengunjungi. Biasanya anggota keluarga yang muda akan mendahulukan silaturahmi ke famili yang paling tua, termasuk juga yang sudah meninggal dunia.
"Kami hanya ingin menciptakan suasana akrab di antara keluarga. Kematian tidak kemudian membatasi hubungan yang sudah terjalin sekian lama antargenerasi," ucap Yohanes.
Prosesi ziarah makam tidak hanya mendatangkan rasa tenteram bagi mereka yang datang, melainkan juga membawa rezeki bagi warga sekitar. Dengan bermodal sapu lidi dan arit, warga bisa mengantongi rupiah dari peziarah yang ingin makam keluarganya dibersihkan dari rumput dan kotoran.
Untuk satu makam, biasanya warga diberi upah Rp 10.000. Nilai ini dianggap wajar, mengingat ukuran makam China jauh lebih besar dari makam biasa. Tidak hanya berupa gundukan tanah, makam China sering dilengkapi dengan anak tangga dan teras, sehingga terkesan lebih luas.
Matahari bergerak semakin tinggi. Fransisca lalu kembali melempar koin-koinnya. Kali ini muncul gambar gunungan dan rumah gadang. Fransiska tersenyum melihatnya.
Ia pun segera mengenakan jaket dan menggandeng tangan sang suami. "Mari, saya pulang duluan. Ayah saya sudah mengizinkan," ujarnya berpamitan.
Wisata Alam - Memacu Adrenalin bersama Pemandu Profesional
Sabtu, 24 Januari 2009 02:29 WIB
Wisatawan menikmati arung jeram di Sungai Citarik, Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (2/1). Di Citarik, para pemandu profesional juga menjadi jaminan keamanan wisatawan. Arus Liar, misalnya, menyiagakan sekitar 35 pemandu terlatih untuk melayani peminat arung jeram yang biasanya membeludak di akhir pekan.
Jika ingin berarung jeram atau paralayang, masalah keamanan, termasuk kelengkapan peralatan, harus menjadi perhatian utama. Jangan sampai niat bersenang-senang di alam bebas berakhir tragis. Salah satu faktor yang pasti membuat hati tenang adalah mengetahui bahwa pendamping wisatawan adalah para pemandu profesional, berpengalaman, bahkan bersertifikat internasional.
Di lokasi wisata paralayang Bukit Gantole di Agrowisata Puncak, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, pastikan Anda terbang tandem bersama para tandem master. Tandem master adalah para ahli yang memiliki kualifikasi khusus untuk membawa orang terbang paralayang.
”Selain saya, di sini ada enam tandem master lain, yaitu Gendon Subandono, Anwar Permana, Nixon Ray Ratag, Liliek Darmono, Andika Munir, dan Nanang Sunarya. Untuk bisa menjadi seorang tandem master, setiap orang harus memiliki 250 jam terbang dan kemampuan membaca cuaca,” kata David Agustinus Teak alias Opa.
Meski berperawakan kecil, Opa yang telah berusia 52 tahun ini amat gesit mengendalikan parasut paralayang. Maklum, ia telah menekuni paralayang sejak hampir 20 tahun lalu.
”Dari saya muda, masih mahasiswa, memang sudah tertarik dengan kegiatan alam bebas. Kemudian saya mengenal paralayang dari almarhum Dudi Arief Wahyudi, juga teman lainnya, seperti Lody Korua. Akhirnya, karena senangnya, mendalami hobi ini pun telah menjadi profesi sekaligus mata pencarian yang amat mencukupi,” kata Opa.
Alat dan penyakit
Siapa saja boleh ikut terbang, laki-laki atau perempuan, tua atau muda, asal sehat jasmani dan rohani, tidak mengidap penyakit jantung dan epilepsi. Umur peminat yang disarankan adalah 14-60 tahun.
Perlengkapan utama dalam olahraga paralayang antara lain parasut utama dan cadangan, harness, dan helm. Berat keseluruhan 10-15 kilogram, tetapi beban tak terasa berat saat terbang. Perlengkapan pendukung terbang yang diperlukan antara lain variometer, radio/HT, GPS, windmeter, peta lokasi terbang, dan lain-lain. Sedangkan perlengkapan pakaian penerbang antara lain baju terbang (flight suit), sarung tangan, dan sepatu berleher tinggi atau boot.
Atlet internasional
”Pemandu kami memiliki kualifikasi khusus, rata-rata mampu mengendalikan perahu, menganalisa jeram bisa dilalui dengan aman atau tidak, dan teknik penyelamatan. Kami juga punya trip leader, orang yang mampu mengendalikan satu rombongan perahu dalam satu perjalanan pengarungan, dan instruktur, orang yang mampu melatih sekaligus menentukan seseorang pantas disebut sebagai pemandu atau trip leader. Tentu saja kemampuan instruktur jauh di atas yang lain,” kata Lody Korua dari Arus Liar.
Saat mendampingi Tim Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009, Arus Liar mengirimkan pemandu-pemandu berpengalaman, yaitu Hendi Rohendi alias Abo yang juga seorang instruktur, Nanang, Endang, Dendi, Hendi, Rahmat, Iyus, Deden, dan Awan. Mereka didukung Narwan dan Dudin yang siap memenuhi segala kebutuhan tim di dalam perahu, termasuk membantu penyelamatan, dari darat.
Sebagian pemandu di Citarik juga dikenal sebagai atlet arung jeram nasional dan internasional. Mereka telah menjelajahi sebagian sungai di Indonesia dan dunia.
Di samping jadi pemandu di Citarik, Abo dan 30-an pemandu lain turut diterjunkan ke Ibu Kota membantu evakuasi serta penyaluran bantuan bagi korban banjir. Yang turut berperan di sini adalah Global Rescue Network, salah satu ”komandannya” adalah Djoni.
Djoni dan beberapa anak buahnya, Eko alias Marcel, Cece, Atek, dan Jumadin, terkenal gesit bergerak dengan mobil berpenggerak empat roda mendatangi tempat-tempat sulit untuk membantu korban bencana, seperti di Aceh, Nias, Sumatera Barat, dan Yogyakarta.
Karena dibantu orang-orang berpengalaman, seperti Opa David, Arus Liar, dan Global Rescue-lah Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009, 16-22 Januari 2009, dapat berjalan lancar serta bisa menyuguhkan laporan peliputan rutin bagi pembaca.(NELI TRIANA)
Wisata Hulu Ciliwung - Keelokan Telaga Warna hingga Tas
KOMPAS, Sabtu, 17 Januari 2009 02:15 WIB NELI TRIANA dan RATIH P SUDARSONO Berwisata di Sungai Ciliwung, mengapa tidak? Sederet obyek menarik sampai ke restoran menyajikan makanan lezat siap dinikmati mulai dari hulu sungai di kawasan Puncak hingga badan alirannya di Bogor, Jawa Barat.Kabut tebal menyelimuti kawasan Telaga Warna di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Kabut yang datang sepanjang hari dan hujan ringan hingga lebat mendera kawasan tersebut sejak dua minggu terakhir ini.
Silakan memilih, di bagian hulu Ciliwung, ada Cagar Alam Telaga Warna yang sejuk dikelilingi kebun teh. Di aliran badannya, ada penanda berupa kawasan Bendung Katulampa tinggalan zaman Belanda, tempat makan yang nyaman dan enak, hingga pusat belanja tas terbesar di Tajur.
Cagar Alam Telaga Warna terletak tidak jauh dari Puncak Pas dan dari Jalan Raya Bogor Cianjur, yang secara administrasi pemerintahan termasuk dalam Desa Tugu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Berada di hamparan perkebunan teh dan hutan yang masih cukup lebat.
Di taman wisata ini, terdapat danau alam yang permukaan airnya tampak berwarna. Warna hijau lumut terkadang diselingi merah coklat keemasan sering terlihat. Sebuah permainan warna di permukaan danau karena pantulan sinar matahari. Di atas danau, terdapat tebing dengan pohon-pohon besar sebagai kanopi.
Dalam kawasan yang sama, penjelajahan alam terus berlanjut. Setelah melewati jalan tanah yang diperkeras dengan tatanan batu di tengah kebun teh dan membelah bukit-bukit kecil, tiba-tiba terhampar lembah hijau yang amat luas. Di sini, ada telaga kecil yang disebut Telaga Cisaat dan di sekitarnya ada beberapa rumah perkebunan.
Duo Telaga Warna dan Cisaat serta kawasan sekitarnya sejak beberapa tahun terakhir, telah ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Telaga Warna. Konon, taman wisata ini sudah dikenal sejak lima abad silam. Catatan penyair Bujangga Manik pada masa Kerajaan Sunda menyebut tempat ini Talaga Warena, secara keseluruhan berarti ’tempat yang menyenangkan’.
Tiket masuk ke areal wisata ini kurang dari Rp 10.000 per orang dewasa atau anak-anak. Selain sekadar menikmati keindahan alam dalam keheningan, kegiatan wisata alam yang dapat dilakukan di lokasi ini pun cocok untuk menyalurkan hobi fotografi, pengamatan burung, dan tentu saja lintas alam dengan berjalan kaki atau bersepeda.
Puas dan kelelahan berkeliling telaga? Dalam 15-20 menit perjalanan keluar dari kompleks taman wisata alam ini, ada Melrimba Garden. Menyeruput teh hangat, kopi, atau aneka makanan di restoran di tengah taman ini tentu menyenangkan. Belanja tanaman, sekaligus belajar cara menanamnya turut menambah segar suasana. Bisa juga memilih Restoran Rindu Alam atau warung makan lain di sepanjang Puncak Pas.
Bermain di bendung
Perut kenyang badan segar kembali, tanda siap melanjutkan perjalanan lagi ke Bogor. Di Kota Hujan ini, ada satu tempat wisata yang nyaris selalu terlewatkan, yaitu Bendung Katulampa. Bendung ini terletak di Kecamatan Katulampa, Kabupaten Bogor, tepatnya sedikit masuk sekitar dua kilometer dari Bale Binarum, Jalan Padjajaran.
Jalan masuk menuju bendung memang sempit, dua mobil berpapasan harus saling hati-hati. Terlebih banyak mobil angkutan umum sering berhenti sembarangan alias ngetem. Namun, begitu mencapai lokasi bendung, pemandangan yang ditawarkan cukup menarik.
Di sepanjang jalur menuju Katulampa, ada obyek wisata lain yang tak kalah terkenal, yaitu Tajur. Antara Katulampa, Tajur, dan sebagian Jalan Padjajaran ini lebih dikenal dengan sebutan Kawasan Katulampa Bantar Kemang. Di Bantar Kemang ini sejak puluhan tahun silam memang dikenal sebagai ikon industri dan pemasaran tas kulit Bogor.
Sekali mendengar namanya, ingatan langsung tertuju pada aneka produk tas model terbaru, berkualitas, dan tentu saja murah. Di kawasan ini mungkin ada sekitar 50 toko tas. Rata-rata toko kecil. Hanya dua toko yang cukup besar, yakni Terminal Tas di Jalan Raya Katulampa dan SKI Tas Tajur di Jalan Raya Katulampa.
Replika Pagaruyung Rampung Agustus
KOMPAS, Rabu, 14 Januari 2009 00:01 WIB
Pembangunan kembali replika Istana Pagaruyung di Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, sudah dimulai, Sabtu (10/1). Pembangunan diperkirakan akan rampung pada Agustus 2009. Replika ini tersambar petir hingga terbakar habis pada 27 Februari 2007.
Pembangunan kembali replika Istana Pagaruyung di Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, sudah dimulai, Sabtu (10/1). Pembangunan diperkirakan akan rampung pada Agustus 2009. Replika ini tersambar petir hingga terbakar habis pada 27 Februari 2007.
Batusangkar - Pembangunan kembali replika Istana Pagaruyung di Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, sudah dimulai. Diperkirakan, Agustus 2009 mendatang, pembangunan istana sudah rampung. Bupati Tanah Datar Shadiq Pasadigue akhir pekan lalu mengatakan, pembangunan istana menghadapi kendala ketersediaan kayu untuk bahan baku bangunan istana. ”Kemarin, kami sempat kesulitan menyediakan kayu untuk bahan membuat istana. Tetapi, setelah diupayakan untuk mencari jalan keluar, barulah kami bisa menyediakan kayu,” kata Shadiq. Kebutuhan kayu untuk pembangunan kembali replika istana itu mencapai 251 meter kubik. Semula, pemda hendak bekerja sama dengan Departemen Kehutanan. Namun, karena mengalami jalan buntu, pemda akhirnya mengusahakan sendiri kayu yang akan dipakai. Dibatalkan Kerja sama dengan Departemen Kehutanan ini terpaksa dibatalkan, menurut Shadiq, karena ada proses yang akan menyulitkan penyediaan kayu. Karena itu, pihaknya mencari sendiri kayu yang akan digunakan untuk bahan baku. Jenis kayu yang digunakan antara lain meranti dan surian. Replika itu nantinya akan difungsikan seperti semula, yakni sebagai pusat kebudayaan Minangkabau. Shadiq mengatakan, minat wisatawan untuk datang ke kawasan Istana Pagaruyung ini relatif baik. Saat ini, katanya, setiap hari ada sekitar 200 wisatawan dari Malaysia dan Singapura datang ke kawasan Pagaruyung ini. Istana yang dibangun saat ini adalah duplikat dari Istano Rajo Alam atau Istana Kerajaan Minangkabau, yang dibakar saat kerusuhan pada tahun 1804. Terakhir, istana ini terbakar akibat tersambar petir, 27 Februari 2007. (ART)
Replika Pagaruyung Rampung Agustus
KOMPAS, Rabu, 14 Januari 2009 00:01 WIB
Batusangkar - Pembangunan kembali replika Istana Pagaruyung di Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, sudah dimulai. Diperkirakan, Agustus 2009 mendatang, pembangunan istana sudah rampung.Pembangunan kembali replika Istana Pagaruyung di Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, sudah dimulai, Sabtu (10/1). Pembangunan diperkirakan akan rampung pada Agustus 2009. Replika ini tersambar petir hingga terbakar habis pada 27 Februari 2007.
Bupati Tanah Datar Shadiq Pasadigue akhir pekan lalu mengatakan, pembangunan istana menghadapi kendala ketersediaan kayu untuk bahan baku bangunan istana.
”Kemarin, kami sempat kesulitan menyediakan kayu untuk bahan membuat istana. Tetapi, setelah diupayakan untuk mencari jalan keluar, barulah kami bisa menyediakan kayu,” kata Shadiq.
Kebutuhan kayu untuk pembangunan kembali replika istana itu mencapai 251 meter kubik. Semula, pemda hendak bekerja sama dengan Departemen Kehutanan. Namun, karena mengalami jalan buntu, pemda akhirnya mengusahakan sendiri kayu yang akan dipakai.
Dibatalkan
Kerja sama dengan Departemen Kehutanan ini terpaksa dibatalkan, menurut Shadiq, karena ada proses yang akan menyulitkan penyediaan kayu. Karena itu, pihaknya mencari sendiri kayu yang akan digunakan untuk bahan baku. Jenis kayu yang digunakan antara lain meranti dan surian.
Replika itu nantinya akan difungsikan seperti semula, yakni sebagai pusat kebudayaan Minangkabau. Shadiq mengatakan, minat wisatawan untuk datang ke kawasan Istana Pagaruyung ini relatif baik. Saat ini, katanya, setiap hari ada sekitar 200 wisatawan dari Malaysia dan Singapura datang ke kawasan Pagaruyung ini.
Istana yang dibangun saat ini adalah duplikat dari Istano Rajo Alam atau Istana Kerajaan Minangkabau, yang dibakar saat kerusuhan pada tahun 1804. Terakhir, istana ini terbakar akibat tersambar petir, 27 Februari 2007. (ART)
Tan Gwan Hien, Kesetiaan Seniman Peranakan
KOMPAS, Selasa, 27 Januari 2009 01:10 WIB Ardus M Sawega
Sebagian orang tua masih menganggap kesenian identik dengan ledek atau badut. Berkesenian dianggap tak bisa menjamin kebutuhan hidup. Itulah yang sering didengar Tan Gwan Hien dari para anak didiknya.
Itu pula ”tantangan” yang dihadapi Gwan Hien, panggilannya, dalam regenerasi kesenian di kalangan peranakan, sebutan bagi keturunan Tionghoa yang lahir dan dibesarkan di Indonesia. Tak heran kalau dari warga Perkumpulan Masyarakat Surakarta atau PMS (organisasi sosial masyarakat Tionghoa di Kota Solo) yang mau menggulati kesenian Jawa makin berkurang dalam 20 tahun terakhir.
”Situasi sekarang memang berbeda dibanding ketika saya kecil dulu,” tutur Gwan Hien yang lahir di Klaten, Jawa Tengah.
Ia belajar menari Jawa karena memang menyukainya, tanpa paksaan. Baginya, kesenian memberi rasa percaya diri, martabat, dan meluaskan pergaulan.
Gwan Hien berkenalan dengan kesenian Jawa saat masih di kelas lima SD. Ia belajar menari dari pamannya, guru tari Jawa di kelompok Mekar Sari, Demang Tjoe Thiam Soe di Klaten. Tahun 1962 ia belajar pada guru tari Mangkunegaran, Demang Poncosewoko, Padmomartoyo, dan Atmomartoyo, sebab keluarganya tinggal di Kampung Widuran, Solo.
Ketika bergabung dengan PMS, ia belajar pada empu tari Keraton Kasunanan RNg Wignyohambekso (yang juga guru penari Sardono W Kusumo) dan Mulyoharsono. Sebagai kelengkapan seorang penari, ia ikut belajar gamelan pada kelompok Darmo Budoyo, juga komunitas Tionghoa.
”Hanya sebatas menguasai gending sebagai dasar saya untuk menguasai tari Jawa. Saya tak mahir menabuh gamelan,” ungkapnya.
Setelah menguasai tari berikut gending Jawa, sejak 1976 Gwan Hien lalu menjadi guru tari honorer di berbagai sekolah di Solo, mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Ia juga menjadi pelatih tari tetap di PMS hingga hari ini.
Di samping itu, sejak 1983 sampai 2003 ia menjadi pegawai negeri sipil di Taman Budaya Jawa Tengah yang berkedudukan di Solo, hingga pensiun dengan golongan II-A.
Pasang surut
Penampilan Gwan Hien mungkin tak mengesankan sosok seniman. Namun, dialah guru tari yang sampai saat ini amat diandalkan sebagai pelatih seni PMS. Ia bisa mewakili pasang surut keterlibatan komunitas peranakan Tionghoa di Solo dalam berkesenian Jawa saat berlangsung akulturasi seni budaya Jawa di tengah warga Tionghoa. Populasi Tionghoa diperkirakan delapan persen dari 500.000 jiwa penduduk Solo.
Pada 1960-1970-an, pamor PMS sebagai komunitas pelestari kesenian Jawa di Solo relatif berkibar. PMS seakan menjadi mata rantai keterlibatan kalangan Tionghoa dalam kebudayaan Jawa di Solo. Ini sekaligus mewarnai sejarah panjang hubungan komunitas Tionghoa dan Jawa dalam dinamika ekonomi dan sosial semenjak Kutanegara Surakarta berdiri tahun 1745.
Langkah perintisan dilakukan Gan Kam akhir abad ke-19 saat membawa kesenian wayang orang dari Istana Mangkunegaran dan memopulerkannya kepada masyarakat. Peran ini diteruskan Lie Wat Djien (WD Lie) yang mendirikan Wayang Orang Sono Harsono, lalu Yap Kam Lok mendirikan Wayang Orang Srikaton. Lie Sien Kuan alias Bah Bagus mendirikan kelompok wayang orang keliling, sebelum menetap di Taman Sriwedari dan menjadi cikal bakal Wayang Orang Sriwedari pada 1930-an.
Sampai 1980-an latihan tari Jawa maupun nasional serta musik karawitan rutin diadakan di aula belakang gedung PMS. Baik warga maupun pelatih antusias berlatih, bahkan sejumlah warga peranakan menjadi ”legenda” dengan peran mereka di pentas wayang. Ini seperti Theo sebagai Rahwana, Jung Ong (Gatotkaca), Thuam Yam (Bima), Goat Bwe (Arjuna), juga A Gioe, Shiang Jit, hingga Nora Kho (Konstantina Dewi) yang kini menjadi pengajar di ISI Solo.
Prestasi kelompok kesenian PMS berpuncak saat berhasil meraih trofi Juara I Ibu Tien Soeharto dalam Festival Wayang Orang Panggung Amatir (WOPA) tahun 1989. Ini juga berkat peran Gwan Hien selaku sutradara sekaligus pembuat sanggit (kreasi) cerita.
Di lingkungannya, Gwan Hien dikenal menguasai cerita wayang, dan lebih banyak berperan sebagai sutradara atau pelatih daripada penari. Dulu, dia suka membawakan peran Cakil, Anoman, Gatotkaca, dan Bugis. Ia menguasai beragam tari Jawa, dari jenis gagahan, alusan, hingga berbagai tari perempuan.
Dia juga belajar tari Liong dan Barongsai pada perkumpulan Hoo Hap, selain mendalami ilmu kungfu. Semua itu mendukung keluwesan, kekompakan, dan ekspresi gerak tarinya.
Pada masa jaya kelompok kesenian PMS, mereka sering melawat ke sejumlah tempat, seperti Jakarta, Surabaya, Madiun, Malang, Semarang, dan Pontianak.
”Rombongan PMS pernah melawat ke Singapura. Jumlah rombongan kami sampai 70 orang, termasuk pengrawit. Kami menyewa satu kapal sendiri,” tuturnya.
Tahun 1980-an mereka yang berlatih kesenian di PMS mencapai 30 orang, tetapi kini tinggal lima sampai 10 orang setiap pekan. Itu pun anak-anak dan remaja. Jadilah seperangkat gamelan di aula sering menganggur, hanya ditabuh sepekan sekali oleh kaum ibu di luar warga peranakan.
Gwan Hien hampir sendirian melatih para murid. Sesekali, Erna, asistennya, membantu dia. Tari yang mereka latih bukan lagi tarian Jawa ”klasik”, seperti Golek atau Bondan, sebab anak-anak merasa enggan.
”Mereka bilang itu kuno. Iramanya ngleler,” katanya.
Maka, ia lebih sering melatih tarian jenis kreasi baru yang dinamis, dan dia adaptasi dari tarian nasional. Ia juga membuat tari kreasi baru dengan dasar balet, tarian India, dan tarian Mandarin.
Gwan Hien menyayangkan kurangnya promosi untuk menjaring minat generasi muda peranakan dalam berkesenian. Oleh karena itu, ia tak tahu bagaimana masa depan kegiatan kesenian di PMS.
”Kalau saya sudah tidak ada, (kegiatan di sini) mungkin akan bubar,” ujar pria yang menerima honor Rp 150.000 per bulan dari PMS ini.
Beijing
KOMPAS, Selasa, 13 Januari 2009, 00:39 WIB
Masih soal pernikahan. Seorang perempuan China, Wang Guiying, baru mulai memikirkan hidup berumah tangga setelah mencapai usia 107 tahun.
Harian Chongqing Commercial Times, Senin (12/1), mengutip Wang memberitakan, dia bermaksud menikah dengan pria yang juga sudah berusia satu abad hanya agar bisa punya teman untuk saling berbagi cerita. Wang yang lahir di Provinsi Guizhou, China selatan, ini mengaku takut menikah sewaktu masih remaja karena trauma melihat paman dan seorang tetangganya sering memukul istri mereka. ”Sepertinya pernikahan itu suatu yang sangat menakutkan,” ujarnya. Namun, kini, Wang mengaku khawatir dan tak ingin menjadi beban, baik bagi sepupu maupun keponakannya yang juga sudah beranjak tua. Apalagi, Wang kian menjadi beban sejak kakinya patah saat berusia 102 tahun dan dia tak sanggup lagi mencuci sendiri pakaiannya. ”Saya sudah berusia 107 tahun dan saya masih belum menikah,” ujar Wang seperti dikutip media. ”Apa yang akan terjadi kalau saya tidak buru-buru untuk menemukan seorang suami?” katanya. Sejumlah pejabat yang mendengar keinginan Wang bersedia membantunya mendapatkan suami. Yang pasti, sang suami juga harus berusia satu abad atau lebih. Suami yang juga berusia satu abad..., apa bukan malah menambah beban? (reuters/AFP/ppg)
London
KOMPAS, Selasa, 13 Januari 2009, 00:39 WIB
Menikah jauh dari kampung halaman memaksa seorang calon pengantin putri asal Ukraina yang menikah di London, Inggris, memasang iklan mengundang sekitar 30 tamu untuk meramaikan pesta pernikahannya. Dalam iklan di media iklan online, gumtree.com, Senin (12/1),
Sinolog Lie Tek Tjeng Telah Tiada
KOMPAS, Selasa, 13 Januari 2009 03:00 WIB
Jakarta - Sinolog senior Lie Tek Tjeng meninggal dunia, Senin (12/1) sekitar pukul 20.00, dalam usia 77 tahun. Jenazah disemayamkan di rumah duka Rumah Sakit Gatot Subroto dan, menurut rencana, pada hari Kamis dikremasi. Ia sudah cukup lama menderita sakit karena beberapa kali mengalami serangan stroke.
Sebelum pensiun dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 1996, Lie Tek Tjeng dikenal sebagai pakar masalah China yang andal. Ia sering dijadikan narasumber oleh surat kabar dan majalah. Ia juga merupakan staf ahli Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) serta dosen Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat.
Lie Tek Tjeng lahir di Padang, Sumatera Barat, 18 Mei 1931. Ia mendapatkan gelar BA dari Jurusan Sinologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) tahun 1954. Atas biaya USIS-Smithmundt Rockefeller Foundation, ia mendapatkan gelar MA dari Harvard University Jurusan East Asia Studies tahun 1956 dan gelar PhD Jurusan Sejarah dan Bahasa Timur Jauh tahun 1962.
Ia kembali ke Indonesia tahun 1963 dan diangkat sebagai dosen FSUI dan Kepala Jurusan Studi Jepang. Tahun 1971-1980, ia menjadi Direktur Lembaga Riset Kewilayahan Nasional (LRKN) bagian dari LIPI.
Ia meninggalkan seorang istri, Sophie Tjia, serta empat anak dan enam cucu. (JL)
Selasa, 27 Januari 2009
Imlek - HTT Siapkan Cap Go Me Terbesar
KOMPAS, Selasa, 27 Januari 2009 00:24 WIB
Padang - Kelompok sosial-budaya Himpunan Tjinta Teman akan menggelar prosesi terbesar Cap Go Me pada Senin (9/2) mendatang atau dua pekan setelah perayaan Imlek. Kebesaran perayaan ini akan ditandai dengan sepasan sepanjang 138 meter.
Sepasan ialah semacam iringan berkepala naga dan berbadan papan berkursi yang akan diduduki 90 anak kecil. Lampion, lampu, dan aneka hiasan dipasang di sepanjang badan naga ini. Untuk mengangkut sepasan, dibutuhkan sekitar 500 orang.
”Sepasan merupakan atraksi khas Cap Go Me yang selama ini sudah sangat jarang dimainkan,” kata Twako Ferryanto Gani dari Himpunan Tjinta Teman (HTT), Sabtu (24/1).
Rangkaian acara Cap Go Me akan diselenggarakan berupa arak-arakan, mulai dari Kelenteng See Hin Kiong, Pondok, Nipah, hingga ke kantor HTT. Selain sepasan, arak-arakan akan dimeriahkan juga dengan barongsai, kuda api, gambang, kio, wushu, singa utara, dan naga.
Perayaan Cap Go Me yang diadakan HTT kali ini merupakan pertama sejak enam tahun terakhir. Untuk mendukung acara ini, HTT melibatkan sekitar 2.000 anggota yang berasal dari sejumlah daerah seperti Pekanbaru, Sibolga, Padang Panjang, Bukittinggi, dan Payakumbuh.
Ferryanto mengatakan, kegiatan ini diselenggarakan juga untuk mendukung kegiatan pariwisata di Kota Padang. HTT memperkirakan, ribuan orang hadir untuk mengikuti perayaan Cap Go Me kali ini. Peringatan Cap Go Me dibuka untuk umum tanpa dipungut biaya.
Imlek
Peringatan Imlek 2560 di Kota Padang dihadiri ribuan orang dari sejumlah daerah. Sebagian besar dari mereka beribadah di Kelenteng See Hin Kiong, Padang. Proses ibadah mulai dilaksanakan sejak pukul 15.00 hingga pergantian hari.
Sekretaris Kelenteng See Hin Kiong, Indra Budi Dermawan, mengatakan, perayaan Imlek tahun ini lebih meriah dibandingkan dengan tahun lalu. Selain pengunjung yang ingin beribadah, masyarakat sekitar yang multietnis dan berasal dari berbagai agama ikut menyaksikan rangkaian acara Imlek.
Kelompok sosial budaya-seperti HTT dan Himpunan Bersatu Teguh yang ikut memperingati Imlek menggelar aneka kegiatan seperti barongsai dan naga di kelenteng. (ART)
Gerhana Matahari
KOMPAS, Selasa, 27 Januari 2009
Kamis, 22 Januari 2009
London
KOMPAS, Selasa, 13 Janurai 2009, 00:39 WIB
Menikah jauh dari kampung halaman memaksa seorang calon pengantin putri asal Ukraina yang menikah di London, Inggris, memasang iklan mengundang sekitar 30 tamu untuk meramaikan pesta pernikahannya. Dalam iklan di media iklan online, gumtree.com, Senin (12/1),
Tahun 2014 Tak Boleh Sembarang Buang Tinja
Jumat, 16 Januari 2009 00:47 WIB
Mulai tahun 2014 pemerintah akan melarang masyarakat membuang tinja (buang air besar/BAB) ke tempat-tempat terbuka, seperti di kali, kebun, dan persawahan. Pasalnya, limbah tinja yang dibuang sembarang akan mengganggu kesehatan dan sistem sanitasi penduduk. Dalam waktu lima tahun ini, pemerintah akan memperbaiki sistem sanitasi yang dinilai masih sangat buruk. Demikian instruksi Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla sebagaimana disampaikan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto kepada pers seusai rapat terbatas di Istana Wapres, Jakarta, Kamis (15/1). Menurut Djoko, hingga saat ini baru 77 persen penduduk Indonesia yang menikmati sistem sanitasi yang bersih dan sehat.
Memperingati Hari Kanker Anak Internasional
Diperkirakan empat juta anak di bawah usia 16 tahun ada di Jakarta Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dari jumlah itu, diperkirakan terdapat 480 kasus baru kanker pada anak setiap tahunnya. Deteksi dini dan penanganan yang tepat bisa mencegah kematian anak-anak pengidap kanker tersebut pada usia dini. Untuk itu, Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia dalam rangka memperingati Hari Kanker Anak Internasional pada 15 Februari 2009 akan menyelenggarakan ”Together We Can” bekerja sama dengan seniman F Widayanto hari Minggu, 8 Februari 2009, pukul 09.00-15.00 di International Sports Club of Indonesia, Ciputat, Jakarta Selatan. Menurut ketua penyelenggara, Mardi Santoso, acara itu akan dihadiri anak-anak penderita kanker dari keluarga prasejahtera serta anak-anak dari sekolah swasta dan sekolah internasional beserta para orangtua mereka
Readmore...Senin, 12 Januari 2009
Pembangunan Replika Istana Pagaruyung
KOMPAS Senin, 12 Januari 2009 00:52 WIB
Pembangunan kembali replika Istana Pagaruyung di Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, diperkirakan selesai Agustus 2009. Bupati Tanah Datar Shadiq Pasadigue, Sabtu (10/1), mengatakan,
pembangunan menghadapi kendala ketersediaan kayu untuk bahan baku bangunan istana. ”Kemarin, kami sempat kesulitan menyediakan kayu untuk bahan membuat istana. Tetapi setelah diupayakan untuk mencari jalan keluar, barulah kami bisa menyediakan kayu,” kata Shadiq. Kebutuhan kayu untuk pembangunan kembali replika Istana Pagaruyung mencapai 251 meter kubik. Semula, pemkab hendak bekerja sama dengan Departemen Kehutanan. Pemkab akhirnya mengusahakan sendiri kayu yang akan dipakai karena kerja sama dibatalkan. Replika akan difungsikan seperti semula, yakni sebagai pusat kebudayaan Minangkabau. Istana yang tengah dibangun adalah duplikat dari Istano Rajo Alam atau Istana Kerajaan Minangkabau, yang dibakar saat kerusuhan pada tahun 1804. Terakhir, istana ini terbakar akibat tersambar petir pada 27 Februari 2007.(art)
New York
KOMPAS Senin, 12 Januari 2009 00:22 WIB
Seekor lobster yang diperkirakan berusia 140 tahun akhirnya kembali mendapatkan kebebasannya. Kelompok penyayang binatang, Rakyat bagi Perlakuan Binatang, Jumat (9/1), mengatakan, lobster seberat sembilan kilogram ini sebelumnya