Rabu, 28 Januari 2009

Imlek - Tahun Baru Bersama Para Leluhur

KOMPAS, Selasa, 27 Januari 2009 16:34 WIB Oleh Yoga Putra
Belasan batang dupa hio tersemat di antara tautan jemari Fransisca Murlianti (49). Kepulan asap putih pekat segera menutupi wajah wanita tersebut, tetapi ia bergeming. Lamat-lamat bibirnya bergerak memanjatkan doa.


Bersama suami, Yohanes Pulung (46), Fransisca yang masih keturunan Tionghoa itu berdoa di depan pusara almarhum Mikael Worodirejo, yang tak lain adalah ayah kandungnya. Tidak lama kemudian, ia melempar dua koin pecahan Rp 100 tahun 1980.

Lemparan pertama menghasilkan gambar seragam. Sama-sama muncul gambar gunungan wayang di permukaan koin. Fransisca kemudian mengambil sekantong bunga mawar dan menaburkannya di atas makam sang ayah yang belum bernisan.

"Kalau gambar koinnya masih sama, itu berarti kami belum boleh pulang. Ayah masih ingin bertemu kami. Nanti kami akan melempar koin lagi hingga muncul gambar yang berlainan, baru kami pulang," tutur Fransisca, Senin (26/1) pagi.

Berziarah ke makam leluhur merupakan bagian dari tradisi perayaan Tahun Baru Imlek yang dipertahankan di keluarga Fransisca.

Tidak hanya mengunjungi makam ayahanda, wanita yang tinggal di Kemetiran, Yogyakarta, itu juga berziarah ke makam kakek dan neneknya yang masih terletak di kompleks pemakaman China Giripeni, Wates, Kulon Progo.

Sambil menaburkan bunga, Fransisca bercerita, keluarga ayahnya berasal dari Sentolo, Kulon Progo. Namun, beberapa tahun setelah kemerdekaan, mereka semua pindah ke Yogyakarta karena kondisi Kulon Progo masih belum aman dari peperangan dengan penjajah Belanda.

Selain keluarga Fransisca, terlihat pula keluarga Bambang (46), warga Godean, Sleman, yang berziarah ke makam leluhur mereka di Giripeni. Rupanya leluhur Fransisca dan Bambang masih satu keluarga besar, tetapi mereka tidak saling kenal karena sudah terpisah dua generasi.

"Kami hanya berziarah saja, tidak bersembahyang, karena kami sekeluarga sudah memeluk agama Kristen. Sembahyang dengan dupa dan sesajian hanya dilakukan oleh pemeluk agama Konghucu atau Buddha saja," kata Bambang.

Generasi Bambang dan Fransisca sudah memeluk agama Kristen dan Katolik sehingga mereka mulai meninggalkan tradisi pemberian hantaran buah, kue, dan masakan di muka makam. Hanya saja, Fransisca masih meneruskan penggunaan dupa karena ia merasakan ada nilai kesakralan tersendiri.

Selain pada hari Imlek, biasanya keluarga Bambang dan Fransisca berziarah pada perayaan Ceng Beng atau hari untuk menghormati para leluhur yang jatuh sekitar April. Ziarah akan dilakukan kembali pada tanggal kematian sang leluhur.

Menurut Yohanes Pulung, ziarah yang berlangsung pada tahun baru memiliki makna berbagi kebahagiaan dengan seluruh keluarga. "Keluarga tidak hanya mereka yang masih hidup saja, tetapi juga yang sudah lebih dulu meninggalkan kita. Ziarah adalah bukti kita masih ingat kepada leluhur," tuturnya.

Ziarah juga merupakan silaturahmi. Pada perayaan Imlek, seluruh keluarga akan saling mengunjungi. Biasanya anggota keluarga yang muda akan mendahulukan silaturahmi ke famili yang paling tua, termasuk juga yang sudah meninggal dunia.

"Kami hanya ingin menciptakan suasana akrab di antara keluarga. Kematian tidak kemudian membatasi hubungan yang sudah terjalin sekian lama antargenerasi," ucap Yohanes.

Prosesi ziarah makam tidak hanya mendatangkan rasa tenteram bagi mereka yang datang, melainkan juga membawa rezeki bagi warga sekitar. Dengan bermodal sapu lidi dan arit, warga bisa mengantongi rupiah dari peziarah yang ingin makam keluarganya dibersihkan dari rumput dan kotoran.

Untuk satu makam, biasanya warga diberi upah Rp 10.000. Nilai ini dianggap wajar, mengingat ukuran makam China jauh lebih besar dari makam biasa. Tidak hanya berupa gundukan tanah, makam China sering dilengkapi dengan anak tangga dan teras, sehingga terkesan lebih luas.

Matahari bergerak semakin tinggi. Fransisca lalu kembali melempar koin-koinnya. Kali ini muncul gambar gunungan dan rumah gadang. Fransiska tersenyum melihatnya.

Ia pun segera mengenakan jaket dan menggandeng tangan sang suami. "Mari, saya pulang duluan. Ayah saya sudah mengizinkan," ujarnya berpamitan.

Tidak ada komentar: