Pohon Mei Hwa masih kuntum
KOMPAS, Selasa, 27 Januari 2009 10:23 WIB
Pohon mei hwa di tengah Jalan Wotgandul, kawasan Pecinan Semarang, itu mencuri perhatian orang-orang yang lalu-lalang. Tingginya sekitar delapan meter dengan bunga-bunga yang mekar kemerahan. Di ujung-ujung rantingnya tergantung puluhan angpau. Di bawahnya, muda-mudi sibuk bergaya, mengabadikan diri bersama pohon harapan itu, Sabtu (24/1) malam.
Lagu-lagu berbahasa Mandarin terdengar dari pengeras suara yang diletakkan di pintu gerbang Klenteng Ling Hok Bio, sekitar 10 meter dari pohon mei hwa. Andini (23) yang berdiri sekitar lima meter dari pengeras suara itu sibuk memberi tanda kepada ibu dan dua adiknya yang bergaya di depan pohon mei hwa.
"Satu...dua...tiga..., yak, sudah. Sekarang gantian Bu," kata warga Candisari, Semarang, itu sambil menyerahkan kamera saku digital kepada ibunya. Dia langsung merapikan jilbabnya dan tersenyum ke arah kamera.
Pohon mei hwa yang dipajang saat Pasar Imlek Semawis itu menggunakan batang pohon asli, bunganya dari plastik. Secara harfiah, mei hwa berarti bunga yang cantik. Dalam tradisi Tionghoa, pohon mei hwa sering pula disebut sebagai pohon harapan.
Tidak sedikit pengunjung pasar imlek itu yang menuliskan harapannya di tahun baru 1 cia gwee 2560 Imlek dan memasukkannya ke dalam kertas angpau. Angpau yang sudah diberi gantungan itu lalu dilemparkan ke pohon mei hwa.
Pengunjung yang datang untuk melemparkan kertas permohonan itu ternyata tidak hanya warga Tionghoa. Pengunjung pasar imlek ini dari berbagai latar belakang agama, budaya, dan ekonomi. Suwito (35), warga Semarang Tengah, datang bersama istri dan dua anaknya. Sudah dua kali pasar imlek mereka datang.
"Sekadar mencari hiburan, kebetulan anak-anak mau lihat barongsai," kata Suwito yang mengaku hanya ke kawasan pecinan saat penyelenggaraan pasar imlek.
Menurut Pelaksana Pasar Imlek Semawis dari Capung Organizer, Benita Eka Arijani, peserta pasar imlek ini hampir berimbang antara warga Tionghoa dan bukan Tionghoa. Mereka juga bisa menyaksikan persiapan persembahyangan menjelang Imlek di klenteng di lokasi pasar imlek.
Suasana akulturasi budaya juga terasa dalam pameran yang digelar Perkumpulan Rasa Dharma yang dahulu bernama Boen Hian Tong di Gedung Rasa Dharma di Gang Pinggir. Selain memamerkan beberapa alat persembahyangan dan papan pencetak tanda keanggotaan sejak organisasi ini berdiri pada 1876, perkumpulan ini juga memamerkan satu perangkat gamelan berusia sekitar 100 tahun milik Boen Hian Tong.
Perangkat gamelan itu terdiri dari gender besi, gender kayu, satu set gong, tambur besar, serta kecapi yang bentuknya kuno dengan ukiran motif daun. Baru pada pertengahan 2008 gamelan itu ditemukan tersimpan di atap gedung. Menurut pengurus Perkumpulan Rasa Dharma, Robert Liem, perangkat gamelan itu diperkirakan tersimpan sejak1960- an.
Ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis), Harjanto Halim, mengatakan, sebelum peristiwa 30 September 1965, gamelan menjadi salah satu kelangenan atau kegemaran orang- orang Tionghoa di Semarang. Mereka mulai meninggalkan kelangenan ini karena takut tampil di muka umum akibat trauma. Dia berharap gamelan ini bisa kembali bergaung di Pecinan Semarang.
"Ini adalah bentuk akulturasi. Imlek bukan hanya milik orang Tionghoa, dan budaya Jawa juga merupakan kelangenan orang-orang Tionghoa," kata Harjanto.
Dia mengatakan, akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa juga tercermin dalam lagu Empat Penari yang terkenal dengan iringan gambang Semarang. Lagu ini karangan Oey Yok Siang.
Sebagaimana pohon mei hwa, akulturasi itu menjadi harapan kita semua.... (antony lee)
Kamis, 29 Januari 2009
Imlek 2560 - Pohon Mei Hwa, Pohon Harapan untuk Semua...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar