KOMPAS, Rabu, 28 Januari 2009 10:54 WIB
Pecinan di Kota Bandung tersebar di Jalan Banceuy, ABC, Pacinan Lama, Otto Iskandardinata, Kebonjati, Pasirkaliki, Gardujati, Cibadak, dan Kelenteng. Munculnya kawasan itu berawal dari kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang mendatangkan orang-orang Tionghoa demi memajukan perekonomian Kota Bandung pada pertengahan abad ke-19.
Kebijakan kolonial itu terkait dengan dipindahkannya pusat Karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung pada tahun 1856. Namun, kedatangan orang Tionghoa dalam jumlah besar diperkirakan sekitar tahun 1884 seiring dengan dibukanya jalur kereta api di Bandung.
Kedatangan orang-orang Tionghoa disambut dengan kebijakan lintas ("pass") dan pengelompokan etnis ("zoning system"). Mereka tidak diperbolehkan melintasi wilayah Priangan tanpa izin dan diharuskan menetap di kawasan yang sudah ditentukan.
Salah satu lahan khusus bagi orang Tionghoa berada di Jalan Otto Iskandardinata (Pasar Baroe Weg). Jantung pecinan terletak di kawasan Jalan Pecinan Lama. Mereka kebanyakan bekerja sebagai perajin mebel atau membuka toko kelontong, warung makan, dan tempat bermain judi.
Lahan khusus juga disediakan di tepian Sungai Citepus di kawasan Kebonjati. Pusatnya di Jalan Kelenteng, yang merupakan lokasi rumah tinggal Kapiten China Tan Yun Liong, yang kemudian dijadikan kelenteng pada 1885.
Bisnis orang-orang Tionghoa makin menguat setelah dihapuskannya kebijakan lintas dan pengelompokan etnis pada 1905. Hal itu antara lain ditandai munculnya pusat perdagangan Andir yang dirintis seorang Tionghoa bernama Yap Loen pada 1920. Praktis, pada periode 1920-1940, suku Tionghoa mampu menguasai hampir seluruh kawasan perdagangan di Jalan Jenderal Sudirman dan Otto Iskandardinata. (NDW/LITBANG KOMPAS)
Pecinan di Kota Bandung tersebar di Jalan Banceuy, ABC, Pacinan Lama, Otto Iskandardinata, Kebonjati, Pasirkaliki, Gardujati, Cibadak, dan Kelenteng. Munculnya kawasan itu berawal dari kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang mendatangkan orang-orang Tionghoa demi memajukan perekonomian Kota Bandung pada pertengahan abad ke-19.
Kebijakan kolonial itu terkait dengan dipindahkannya pusat Karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung pada tahun 1856. Namun, kedatangan orang Tionghoa dalam jumlah besar diperkirakan sekitar tahun 1884 seiring dengan dibukanya jalur kereta api di Bandung.
Kedatangan orang-orang Tionghoa disambut dengan kebijakan lintas ("pass") dan pengelompokan etnis ("zoning system"). Mereka tidak diperbolehkan melintasi wilayah Priangan tanpa izin dan diharuskan menetap di kawasan yang sudah ditentukan.
Salah satu lahan khusus bagi orang Tionghoa berada di Jalan Otto Iskandardinata (Pasar Baroe Weg). Jantung pecinan terletak di kawasan Jalan Pecinan Lama. Mereka kebanyakan bekerja sebagai perajin mebel atau membuka toko kelontong, warung makan, dan tempat bermain judi.
Lahan khusus juga disediakan di tepian Sungai Citepus di kawasan Kebonjati. Pusatnya di Jalan Kelenteng, yang merupakan lokasi rumah tinggal Kapiten China Tan Yun Liong, yang kemudian dijadikan kelenteng pada 1885.
Bisnis orang-orang Tionghoa makin menguat setelah dihapuskannya kebijakan lintas dan pengelompokan etnis pada 1905. Hal itu antara lain ditandai munculnya pusat perdagangan Andir yang dirintis seorang Tionghoa bernama Yap Loen pada 1920. Praktis, pada periode 1920-1940, suku Tionghoa mampu menguasai hampir seluruh kawasan perdagangan di Jalan Jenderal Sudirman dan Otto Iskandardinata. (NDW/LITBANG KOMPAS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar